Diar Seonubi: Cara Instan

Diar Seonubi: Cara Instan
Diar Seonubi: Cara Instan
Banyak orang maunya langsung ke bagian "uang" alias "gue dibayar berapa nih?" atau "gue dapet berapa nih?". Banyak orang maunya langsung ke bagian hasil tapi nggak mau terlibat dalam proses, maunya kerjaan yang simpel-simpel aja. Padahal, pekerjaan yang mudah untuk kita lakukan maka mudah juga untuk dilakukan orang lain. Akibatnya, harga 'upah' jadi murah karena banyak orang bisa melakukannya dan akan selalu ada orang lain yang bisa menggantikan posisi kita, kapanpun.

Contoh kecil, saya beberapa kali ketemu orang yang pengen nulis ebook karena pengen punya duit. Alasannya pun udah salah. Saat mereka kasih contoh, saya bacanya bingung, itu 'pembaca' mau dibawa kemana? Saya nggak bilang bahwa saya lebih bagus. Tapi kalau saya menulis ebook, saya selalu membayangkan bahwa saya sedang berdialog dengan 'pembaca', dan itu yang membuat materi ebook saya terkesan 'hidup' dan sistematis. Kalau kita melakukan sesuatu sambil membayangkan berapa uang yang kita dapat, maka pikiran kita tidak akan fokus apa apa yang akan kita jual. Padahal, justru kita dibayar berdasarkan hasil yang kita tawarkan. Sebaliknya kalau kita fokus pada proses, kita akan menghitung berapa banyak kesalahan materi yang harus kita perbaiki. proses yang baik akan memberikan hasil yang baik pula. Hasil bagus, bayaran bagus.

Di lain waktu ada orang yang pengen punya penghasilan online. Saya tawarkan untuk menulis artikel, bahkan saya kasih modal ebook. Ia malah minta carikan pekerjaan rutin, padahal saya aja belum lihat level kemampuannya seperti apa. Saya minta contoh tulisannya dan saya lihat banyak sekali kesalahannya, saya kritik habis-habisan. Selanjutnya bukannya tertarik untuk memperbaiki cara menulis, malah katanya pengen bisa bikin ebook. Ya terserah, itu haknya. Keputusannya aja nggak konsisten. Saya sendiri udah memutuskan nggak jualan ebook lagi, tapi kalau menulis ebook mungkin masih.

Kalau anda ingin punya nilai jual tinggi, maka anda harus unik. Untuk menjadi unik butuh proses, salah satunya adalah belajar. Belajar adalah pilihan yang nggak bisa dihindari kalau pengen naik level. Belajar udah pasti membosankan dan menyebalkan. Kalau pengen agar belajar menjadi hal yang menyenangkan, ubah sudut pandangmu dengan menghargai suatu pekerjaan berdasarkan prospek, bukan uang. Kalau pengen belajar tapi nggak punya uang, terima orderan yang kecil-kecil, karena kita belajar tapi dibayar.

jadi inget temen yang dikasih orderan tapi nggak dikerjain, uangnya juga nggak dibalikin. Berapa nilai uangnya? cuma 250 ribu rupiah. Murah, teramat murah, sangat murah. Saya cuma menyesali kesempatan yang ia buang percuma. Kalau aja ia mau melewati prosesnya, di baliknya ada prospek juta'an rupiah. Masuk ke bisnis online, hal pertama yang bisa dikuasai oleh pemula adalah cara menulis, karena nantinya akan bermanfaat saat menawarkan dagangan di sosial media, blog, forum, dst.

Intinya, jangan buang kesempatanmu untuk belajar (by Diar Seonubi)

Diar Seonubi: Orang Kaya Raya

Orang kaya itu sesungguhnya bukan dari hartanya, tapi dari pikirannya dan hatinya. Saya dulu waktu susah, nganggur cuma jualan gorengan dapet 2000-3000 perak perhari, titip jual di sekolah-sekolah. Kebetulan pemda bagi-bagi bibit pohon mangga untuk ditanam warga untuk penghijauan.
Orang Kaya Raya (pic google.com)

Setelah sekian tahun, pohon mangga yang ditanam di pinggir-pinggir jalan, berbuah lebat, katanya lagi panen raya. Mangga indramayu, paling cocok buat rujak. Saya petik, kupas dan diiris lalu masukkan ke plastik-plastik bening. Lumayan, perhari bisa dapet 10-20 ribu rupiah, uangnya dikumpulin buat beli hape, buat sms nanya-nanya kerjaan. Selebihnya buat ke warnet nyari-nyari lowongan.

Kalo pas mangga masih pada ijo, saya ke taman-taman umum nyari pohon jambu air. Sering pas manjat dikerubungin semut ganas-ganas itu semut rangrang. Ada juga orang yang dirumahnya pohon jambunya lebat banget sampai jatuh-jatuh, tapi pas diminta, jawabnya,"Nanti tanya suami saya dulu." Lalu saya balas,"Suaminya kemana, bu?". Jawabnya, "Suami saya lagi kerja. Ntar, pulangnya sore, tapi seringnya pulangnya malem," dengan muka males. Tadinya mau saya ledekin, "Saya tungguin disini deh bu, sampe suami ibu pulang."
.
Di lain waktu, saya keliling kampung, kalo pas ada rumah yang punya pohon pepaya mengkal, saya minta. Tapi di saat itu lagi banyak hama kutu putih, jadi banyak orang malah seneng pepayanya diminta, soalnya pohonnya bakal ditebang. Namanya pepaya mengkal, getahnya bikin kulit jadi 'empuk', lama-lama bikin telapak tangan kena kutu air sampe tangan iritasi berat.

Ada kisah haru dibaliknya, setelah sekian tahun kemudian saat kondisi keuangan membaik, saya ketemu orang yang dulu ngasih pepaya, namanya Ujo. Saya kasih uang sekedarnya sebagai ucapan terima kasih, dia masih inget saya yang dulu suka minta pepaya. Kalo diliat-liat, kondisinya (maaf) lebih menyedihkan.

Rumahnya lebih mirip kandang kambing daripada rumah. Dinding dan kusennya dari kayu-kayu bekas dengan ukuran tidak seragam. Lantainya cuma semen, didalam ruang tamunya cuma ada sofa yang lebih pantas diletakkan di gudang karena dudukannya jebol. Nggak ada jendela, cuma kawat ram. Tapi anehnya, dimintain pepaya berulang kali nggak ada ekspresi curiga, mukanya biasanya aja. Kondisinya memprihatinkan, tapi hati dan pikirannya lebih kaya raya dari apa yang ia miliki, itu juga jadi pelajaran berharga buat saya.

Nah, saya jadi inget temen yang minjem duit nggak dibalikin, saya ikhlasin aja karena ternyata ngutangnya bukan ke saya doang ada juga temen yang dikasih kerjaan kecil tapi minta dibayar duluan karena butuh duit buat jalan-jalan, selanjutnya hasil kerjaannya nggak setor, duitnya juga nggak jelas. Saya ikhlasin aja. Da saya mah apa atuh, saya nggak ada apa-apanya dibanding Ujo orang yang ngasih pepaya padahal kondisinya lebih memprihatinkan .

Met malam mingguan ya.. (by: Diar Seonubi)

Popular